Ada 2 permasalahan yang umumnya
perusahan tambang alami, yaitu permasalahan internal dan permasalahan external.
Permasalahan internal perusahan tambang adalah permasalahan yang langsung
berhubungan dengan perusahaan khususnya pada permasalahan teknis, manajemen,
dan keuangan. Sedangankan pada permasalahan external adalah permasalahan yang
dipengaruhi oleh permintaan pasar, pertumbuhan ekonomi, kebijakan dalam negeri
dan luar negeri. Pada kesempatan ini, saya akan membahas solusi bagi permasalahan-persamalahan
external perusahaan tambang di Indonesia , yaitu permasalahan yang ditimbulkan
oleh UU MINERBA No.4 2009 bagi para pelaku usaha pertambangan Mineral dan
batubara berserta solusinya.
UU MINERBA NO.4 2009
telah dirumuskan dan disahkan pada tahun 2009 namun baru diberlakukan di
Indonesia pada 12 januari 2012. Sebenarnya hanya ada 2 pasal yang menjadi
permasalahan serius bagi para pelaku usaha pertambangan, yaitu pasal 102, 103,
104 dan pasal 107. Pasal-pasal ini mewajibkan mineral yang mengandung nilai
ekonomis (ore) harus diolah dan
dimurnikan terlebih dahulu sehingga mempunyai nilai tambah sebelum diekspor.
Peraturan ini juga mewajibkan pemilik usaha untuk membangun smelter, sebuah
fasilitas pengolahan dan pemurnian hasil tambang. Diharapkan pembangunan
smelter ini akan meningkatkan investasi dalam negeri karena fasilitas smelter yang
ada saat ini masih terbatas. Peraturan ini ditetapkan melalui pertimbangan,
yaitu untuk memberi nilai tambah secara
nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan
rakyat secara berkeadilan serta pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan
daerah berkelanjutan. Namun,
pemberlakuan undang-undang ini menuai pro dan kontra dari beberapa pihak
khususnya pihak pekerja tambang dan pemilik usaha terkait dengan risiko yang
dapat dihadapi. Risiko yang pasti akan dihadapi perusahaan adalah risiko
regulasi dikarenakan perubahan regulasi yang ada akan berdampak pada perubahan
aktivitas perusahaan. Pelarangan ekspor bahan mentah memaksa perusahaan membuat
smelter untuk menunjang proses produksi selanjutnya. Selain itu, dengan adanya
pelarangan dan kewajiban tersebut, perusahaan juga akan menghadapi risiko
strategis yang muncul akibat keputusan bisnis yang tidak tepat dan berujung
pada pendapatan atau modal. Dalam hal ini, tingkat pendapatan menurun akibat pelarangan
ekspor dan keharusan untuk penyediaan fasilitas smelter. Perusahaan-perusahaan
yang tidak dapat menyelesaikan smelternya
hingga batas waktu yang diberikan pemerintah, yakni tahun 2014, sudah banyak
yang gulung tikar akibatnya, pengangguran-pengangguran di Indonesia terus
meningkat. Risiko lain yang dapat dihadapi oleh perusahaan yaitu risiko
kehilangan pangsa pasar yang selama ini telah menampung supply barang mentah yang dikirim oleh perusahaan-perusahaan Indonesia.
Sejak disahkannya UU Minerba No.4 2009 banyak perusahaan-perusahaan tambang
mineral yang mengeluhkan pemberian batas waktu pembangunan smelter. Seperti
dikutip pada Berita Politik RMOL.CO minggu 14 April 2013 Direktur Utama PT. Ena Sarana Energi Naldy Nazar Haroen
mengatakan, “Saya yakin tidak akan ada pabrik smelter
yang siap beroperasi 2014. Pemerintah sebaiknya bisa bijaksana menyadari
kondisi itu. Segera lakukan antisipasi agar tidak menimbulkan kerugian.”
Penuturan ini tentu saja bukan tanpa alasan, menurutnya waktu yang diberikan ke
pengusaha untuk membangun pabrik smelter selama lima tahun, dinilai tidak
realistis kerena untuk
pengerjaan proposal pembangunan menghabiskan waktu tiga tahun, kemudian
pembangunan fisik pabrik sekitar tiga
tahun. Belum lagi, bila selama proses pembangunan banyak terdapat hambatan
sehingga membutuhkan waktu untuk persiapan khususnya pada pendanaan. Untuk
membangun satu smelter dibutuhkan investasi minimal 1-2 miliar dolar AS
sedangkan bank domestik hanya mampu memberikan pinjaman maksimal 200 juta dolar
AS per proyek. Dari jumlah tersebut kita bisa ketahui bahwa investasi
pembangunan smelter membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Permasalahan lainnya yang muncul
adalah minimnya infrastruktur untuk membangun smelter, sulitnya mencari lahan
untuk membangun pabrik serta masalah-masalah sosial dan lingkungan. Selain itu
regulasi proyek pertambangan yang selalu berubah menambah daftar panjang permasalahan
tambang-tambang yang ada di Indonesia. Regulasi tentang minerba yang sering
kali barubah membuat para pelaku usaha pertambangan merasa tidak memiliki
kepastian hukum mengenai usahanya, isu mengenai revisi UU Minerba N0.4 Tahun
2009 membuat para pengusaha pertambangan mempertanyakan komitmen pemerintah
dalam program hilirisasi karena revisi UU Minerba No.4 dapat memberikan
kelonggaran kepada para pelaku usaha pertambangan biji untuk
mengirim hasil tambangnya tanpa harus diolah dan dimurnikan terlebih dahulu. Hal
ini tentu saja bukan tanpa sebab, perubahan regulasi yang sering terjadi
sebenarnya merupakan salah satu langkah pemerintah dalam mengantisipasi dan
mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh regulasi sebelumnya. Tentu hal
ini sangat berdampak tidak baik bagi investasi di Indonesia karena calon-calon
investor baik dalam negeri maupun luar negeri akan segan untuk berinvestasi di
Indonesia dikarenakan regulasi yang kerap kali berubah.
SOLUSI
:
Pemerintah melalui BUMN diharapkan
bisa menjalin kemitraan dengan perusahaan-perusahaan tambang swasta yang tidak
mampu membangun smelter. Pemerintah juga harus mampu merangkul para calon-calon
investor asing untuk berinvestasi di Indonesia, jika ada investor asing yang
mau membangun smelter dengan majority hanya 50% saja maka diharapkan pemerintah
mau bekerja sama dengan menerima beban sisa 50%, tentu hal ini akan lebih
meringankan para pelaku usaha pertambangan untuk membangun smelternya baik
sendiri maupun konsorsium. Merangkul para calon-calon investor baik dalam
negeri maupun luar negeri akan sangat sulit jika Infrastruktur di Indonesia
masih belum memadai salah satunya, yaitu power
plant. Pengadaan smelter dinilai sangat baik jika lokasi smelter berada
dekat dengan lokasi tambang akan tetapi, lokasi-lokasi tambang yang ada di
Indonesia dominan berada di daerah-deerah pelosok yang sangat minim dengan
infrastrukturnya. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa di era kepemimpinan
Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-JK, pemerataan pembangunan infrastruk di
seluruh Indonesia khususnya pada daerah-daerah terpencil sedangan gencar
dilaksanakan. Hal tersebut marupakan semangat dari NAWACIPTA, yaitu program pemerintah untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik. Selain itu,
pembangunan proyek listrik 35 GW juga sedang dikerjakan dan hampir rampung.
Pemerintah juga akan mengeluarkan 3 kebijakan baru untuk menompang pembangunan
smelter. Pertama, perihal penerbitan izin pembangunan smelter yang dikeluarkan
oleh 2 kementrian, akan segera disederhanakan menjadi satu pintu sehingga
proses perizinan bisa lebih cepat. Kebijakan kedua, yaitu pemberian intensif
pajak sehingga investor bisa mendapatkan tax
allowance namun, bukan tax holiday
karena tax holiday hanya diberikan
kepada industri yang memberi nilai tambah hasil tambangnya seperti meningkatkan
nilai tambah besi, jadi bukan hanya mengelolah biji besi, tapi sekaligus
menjadi pabrik besi. Ketiga, pemerintah akan menggarisbawahi mengenai
pengenaan royalty pada pertambangan
sehingga pemerintah memungut royalty dari
hulu bukan di smelter. Hal ini, tentu saja akan menjadi peluang yang sangat
baik bagi para calon investor, investor dan pelaku usaha pertambangan untuk
berinvestasi pada smelter.
Permasalahan modal dan infrastruktur
bukanlah permasalahan satu-satunya yang harus diselesaikan bersama-sama antara
pemerintah dan para pelaku usaha akan tetapi, permasalahan regulasi yang kerap
kali berubah juga harus diselesaikan bersama-sama bahkan pemerintah harus
mengikut sertakan para akademisi demi mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan
dari permasalahan tersebut. Revisi UU Minerba No.4 Tahun 2009 yang dinilai oleh
sejumlah pihak akan memberikan kembali izin ekspor bahan mentah sebenarnya
cukup baik jika kita bisa melihat dari sudut pandang positifnya. Sudah banyak
perusahaan-perusahaan yang hanya memiliki modal terbatas harus menutup usahanya
sementara bahkan ada beberapa perusahaan yang telah bangkrut karena
perusahaan-perusahaan ini tidak memiliki pendapatan sehingga tidak mampu
membayar utang-utangnya. Jika revisi UU Minerba memberikan kelonggaran bagi
perusahaan untuk mengirimkan hasil tambangnya yang masih mentah maka
perusahaan-perusahaan yang tutup sementara akan kembali berproduksi bahkan
perusahaan yang telah bangkrut bisa bangkit kembali. Diharapkan pada rivisi UU Minerba No.4 Tahun 2009
beserta turunan-turunanya hanya memberikan kelonggaran ekspor bahan mentah bagi
perusahaan-perusahaan tertentu yang masih memiliki banyak cadangan mineral biji
sampai batas waktu yang telah ditentukan dengan tujuan demi mendapatkan modal
untuk membangun smelter. Perusahaan yang masih memiliki banyak cadangan mineral
biji yang sifatnya ekonomis namun, belum memiliki smelter jika diberi kebijakan
untuk mengekspor hasil tambangnya yang masih mentah maka perusahaan-perusahaan
tersebut akan memiliki cukup modal untuk membangun smelter sehingga mendapatkan
keuntungan yang berlipat-lipat dari hasil penjulan bahan tambang yang telah
diolah dan dimurnikan dan dalam waktu singkat investor akan mendapatkan kembali
modalnya. Untuk perusahaan-perusahaan yang cadangan mineral bijinya telah
menipis khususnya pada tambang-tambang kecil yang memiliki cadangan sedikit
akan tetapi, dinilai masih ekonomis maka diharapkan dengan adanya revisi UU
Minerba No.4 Tahun 2009 bisa memberikan kebijakan mengekspor bahan mentah
hingga pasca tambang tanpa harus membangun smelter.