Sabtu, 15 Oktober 2016

SOLUSI ATAS PERMASALAHAN UU MINERBA NO.4 TAHUN 2009

          Ada 2 permasalahan yang umumnya perusahan tambang alami, yaitu permasalahan internal dan permasalahan external. Permasalahan internal perusahan tambang adalah permasalahan yang langsung berhubungan dengan perusahaan khususnya pada permasalahan teknis, manajemen, dan keuangan. Sedangankan pada permasalahan external adalah permasalahan yang dipengaruhi oleh permintaan pasar, pertumbuhan ekonomi, kebijakan dalam negeri dan luar negeri. Pada kesempatan ini, saya akan membahas solusi bagi permasalahan-persamalahan external perusahaan tambang di Indonesia , yaitu permasalahan yang ditimbulkan oleh UU MINERBA No.4 2009 bagi para pelaku usaha pertambangan Mineral dan batubara berserta solusinya.

            UU MINERBA NO.4 2009 telah dirumuskan dan disahkan pada tahun 2009 namun baru diberlakukan di Indonesia pada 12 januari 2012. Sebenarnya hanya ada 2 pasal yang menjadi permasalahan serius bagi para pelaku usaha pertambangan, yaitu pasal 102, 103, 104 dan pasal 107. Pasal-pasal ini mewajibkan mineral yang mengandung nilai ekonomis (ore) harus diolah dan dimurnikan terlebih dahulu sehingga mempunyai nilai tambah sebelum diekspor. Peraturan ini juga mewajibkan pemilik usaha untuk membangun smelter, sebuah fasilitas pengolahan dan pemurnian hasil tambang. Diharapkan pembangunan smelter ini akan meningkatkan investasi dalam negeri karena fasilitas smelter yang ada saat ini masih terbatas. Peraturan ini ditetapkan melalui pertimbangan, yaitu untuk memberi nilai tambah  secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan kesejahteraan rakyat secara berkeadilan serta pertumbuhan ekonomi nasional dan pembangunan daerah berkelanjutan. Namun, pemberlakuan undang-undang ini menuai pro dan kontra dari beberapa pihak khususnya pihak pekerja tambang dan pemilik usaha terkait dengan risiko yang dapat dihadapi. Risiko yang pasti akan dihadapi perusahaan adalah risiko regulasi dikarenakan perubahan regulasi yang ada akan berdampak pada perubahan aktivitas perusahaan. Pelarangan ekspor bahan mentah memaksa perusahaan membuat smelter untuk menunjang proses produksi selanjutnya. Selain itu, dengan adanya pelarangan dan kewajiban tersebut, perusahaan juga akan menghadapi risiko strategis yang muncul akibat keputusan bisnis yang tidak tepat dan berujung pada pendapatan atau modal. Dalam hal ini, tingkat pendapatan menurun akibat pelarangan ekspor dan keharusan untuk penyediaan fasilitas smelter. Perusahaan-perusahaan yang tidak  dapat menyelesaikan smelternya hingga batas waktu yang diberikan pemerintah, yakni tahun 2014, sudah banyak yang gulung tikar akibatnya, pengangguran-pengangguran di Indonesia terus meningkat. Risiko lain yang dapat dihadapi oleh perusahaan yaitu risiko kehilangan pangsa pasar yang selama ini telah menampung supply barang mentah yang dikirim oleh perusahaan-perusahaan Indonesia. Sejak disahkannya UU Minerba No.4 2009 banyak perusahaan-perusahaan tambang mineral yang mengeluhkan pemberian batas waktu pembangunan smelter. Seperti dikutip pada Berita Politik RMOL.CO minggu 14 April 2013 Direktur Utama  PT. Ena Sarana Energi Naldy Nazar Haroen mengatakan, Saya yakin tidak akan ada pabrik smelter yang siap beroperasi 2014. Pemerintah sebaiknya bisa bijaksana menyadari kondisi itu. Segera lakukan antisipasi agar tidak menimbulkan kerugian.” Penuturan ini tentu saja bukan tanpa alasan, menurutnya waktu yang diberikan ke pengusaha untuk membangun pabrik smelter selama lima tahun, dinilai tidak realistis kerena untuk pengerjaan proposal pembangunan menghabiskan waktu tiga tahun, kemudian pembangunan fisik pabrik sekitar  tiga tahun. Belum lagi, bila selama proses pembangunan banyak terdapat hambatan sehingga membutuhkan waktu untuk persiapan khususnya pada pendanaan. Untuk membangun satu smelter dibutuhkan investasi minimal 1-2 miliar dolar AS sedangkan bank domestik hanya mampu memberikan pinjaman maksimal 200 juta dolar AS per proyek. Dari jumlah tersebut kita bisa ketahui bahwa investasi pembangunan smelter membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

            Permasalahan lainnya yang muncul adalah minimnya infrastruktur untuk membangun smelter, sulitnya mencari lahan untuk membangun pabrik serta masalah-masalah sosial dan lingkungan. Selain itu regulasi proyek pertambangan yang selalu berubah menambah daftar panjang permasalahan tambang-tambang yang ada di Indonesia. Regulasi tentang minerba yang sering kali barubah membuat para pelaku usaha pertambangan merasa tidak memiliki kepastian hukum mengenai usahanya, isu mengenai revisi UU Minerba N0.4 Tahun 2009 membuat para pengusaha pertambangan mempertanyakan komitmen pemerintah dalam program hilirisasi karena revisi UU Minerba No.4 dapat memberikan kelonggaran kepada para pelaku usaha pertambangan biji untuk mengirim hasil tambangnya tanpa harus diolah dan dimurnikan terlebih dahulu. Hal ini tentu saja bukan tanpa sebab, perubahan regulasi yang sering terjadi sebenarnya merupakan salah satu langkah pemerintah dalam mengantisipasi dan mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan oleh regulasi sebelumnya. Tentu hal ini sangat berdampak tidak baik bagi investasi di Indonesia karena calon-calon investor baik dalam negeri maupun luar negeri akan segan untuk berinvestasi di Indonesia dikarenakan regulasi yang kerap kali berubah.

SOLUSI :

            Pemerintah melalui BUMN diharapkan bisa menjalin kemitraan dengan perusahaan-perusahaan tambang swasta yang tidak mampu membangun smelter. Pemerintah juga harus mampu merangkul para calon-calon investor asing untuk berinvestasi di Indonesia, jika ada investor asing yang mau membangun smelter dengan majority hanya 50% saja maka diharapkan pemerintah mau bekerja sama dengan menerima beban sisa 50%, tentu hal ini akan lebih meringankan para pelaku usaha pertambangan untuk membangun smelternya baik sendiri maupun konsorsium. Merangkul para calon-calon investor baik dalam negeri maupun luar negeri akan sangat sulit jika Infrastruktur di Indonesia masih belum memadai salah satunya, yaitu power plant. Pengadaan smelter dinilai sangat baik jika lokasi smelter berada dekat dengan lokasi tambang akan tetapi, lokasi-lokasi tambang yang ada di Indonesia dominan berada di daerah-deerah pelosok yang sangat minim dengan infrastrukturnya. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa di era kepemimpinan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-JK, pemerataan pembangunan infrastruk di seluruh Indonesia khususnya pada daerah-daerah terpencil sedangan gencar dilaksanakan. Hal tersebut marupakan semangat dari NAWACIPTA, yaitu program pemerintah untuk membuat Indonesia menjadi lebih baik. Selain itu, pembangunan proyek listrik 35 GW juga sedang dikerjakan dan hampir rampung. Pemerintah juga akan mengeluarkan 3 kebijakan baru untuk menompang pembangunan smelter. Pertama, perihal penerbitan izin pembangunan smelter yang dikeluarkan oleh 2 kementrian, akan segera disederhanakan menjadi satu pintu sehingga proses perizinan bisa lebih cepat. Kebijakan kedua, yaitu pemberian intensif pajak sehingga investor bisa mendapatkan tax allowance namun, bukan tax holiday karena tax holiday hanya diberikan kepada industri yang memberi nilai tambah hasil tambangnya seperti meningkatkan nilai tambah besi, jadi bukan hanya mengelolah biji besi, tapi sekaligus menjadi pabrik besi. Ketiga, pemerintah akan menggarisbawahi mengenai pengenaan royalty pada pertambangan sehingga pemerintah memungut royalty dari hulu bukan di smelter. Hal ini, tentu saja akan menjadi peluang yang sangat baik bagi para calon investor, investor dan pelaku usaha pertambangan untuk berinvestasi pada smelter.

          Permasalahan modal dan infrastruktur bukanlah permasalahan satu-satunya yang harus diselesaikan bersama-sama antara pemerintah dan para pelaku usaha akan tetapi, permasalahan regulasi yang kerap kali berubah juga harus diselesaikan bersama-sama bahkan pemerintah harus mengikut sertakan para akademisi demi mengatasi dampak negatif yang ditimbulkan dari permasalahan tersebut. Revisi UU Minerba No.4 Tahun 2009 yang dinilai oleh sejumlah pihak akan memberikan kembali izin ekspor bahan mentah sebenarnya cukup baik jika kita bisa melihat dari sudut pandang positifnya. Sudah banyak perusahaan-perusahaan yang hanya memiliki modal terbatas harus menutup usahanya sementara bahkan ada beberapa perusahaan yang telah bangkrut karena perusahaan-perusahaan ini tidak memiliki pendapatan sehingga tidak mampu membayar utang-utangnya. Jika revisi UU Minerba memberikan kelonggaran bagi perusahaan untuk mengirimkan hasil tambangnya yang masih mentah maka perusahaan-perusahaan yang tutup sementara akan kembali berproduksi bahkan perusahaan yang telah bangkrut bisa bangkit kembali. Diharapkan  pada rivisi UU Minerba No.4 Tahun 2009 beserta turunan-turunanya hanya memberikan kelonggaran ekspor bahan mentah bagi perusahaan-perusahaan tertentu yang masih memiliki banyak cadangan mineral biji sampai batas waktu yang telah ditentukan dengan tujuan demi mendapatkan modal untuk membangun smelter. Perusahaan yang masih memiliki banyak cadangan mineral biji yang sifatnya ekonomis namun, belum memiliki smelter jika diberi kebijakan untuk mengekspor hasil tambangnya yang masih mentah maka perusahaan-perusahaan tersebut akan memiliki cukup modal untuk membangun smelter sehingga mendapatkan keuntungan yang berlipat-lipat dari hasil penjulan bahan tambang yang telah diolah dan dimurnikan dan dalam waktu singkat investor akan mendapatkan kembali modalnya. Untuk perusahaan-perusahaan yang cadangan mineral bijinya telah menipis khususnya pada tambang-tambang kecil yang memiliki cadangan sedikit akan tetapi, dinilai masih ekonomis maka diharapkan dengan adanya revisi UU Minerba No.4 Tahun 2009 bisa memberikan kebijakan mengekspor bahan mentah hingga pasca tambang tanpa harus membangun smelter.